Jumat, 26 Agustus 2011

Beragama dengan Empati


Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW berbicara di mimbarnya: "Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang paling jahat di antara kalian?" Tentu, ya Rasul Allah. "Yang paling jahat di antara kalian ialah yang makan sendirian, yang memukul orang (budak) yang berbakti kepadanya, dan yang menolak pemberian."
"Maukah aku beri tahukan yang lebih jahat dari itu? Yang tidak menyelamatkan orang yang tergelincir dan tidak memaafkan orang yang bersalah. Maukah aku beri tahukan orang yang paling jahat dari semuanya itu?" Tentu, ya Rasul Allah. "Yang membenci orang dan orang pun membencinya." (Bihar al-Anwar, 75:186; Al-Mu'jam al-Kabir Hadis 10775).
Itulah suara Nabi yang diutus Tuhan untuk menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam semesta. Itu juga suara para nabi yang datang sebelumnya. Ukuran kesalehan dalam agama ini ialah menyebarkan kasih sayang, menjauhi kezaliman, saling berbagi dengan sesama, memberikan pertolongan dan memaafkan. Ukuran kejahatan ialah menyebarkan kebencian, berbuat zalim, tidak mau berbagi, tidak menyelamatkan orang yang tergelincir, dan tidak memaafkan orang yang bersalah.
Esensi ajaran agama ini disebut dalam Islam sebagai "silaturrahim". Para psikolog modern menyebutnya "empati". Manusia berada dalam spektrum empati sejak empati nol, zero emphaty, sampai ke superempati.
Empati nol adalah manusia yang paling jahat. Ia membenci dan dibenci orang. Ia punya potensi untuk menyakiti, menyerang, melukai atau menyiksa. Ia sulit menyayangi dan sulit disayangi. Ia tidak peduli kepada orang lain. Dalam bahasa Al-Qur'an, "ia menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan". Ketika beragama, ia tidak menyembah Tuhan. Ia memuja dirinya. Ia menganggap dirinya paling saleh dan paling dekat dengan Tuhan.
Ketika para sahabat memperbincangkan seseorang yang kekhusyukan ibadahnya menakjubkan, orang itu tiba-tiba muncul di majlis Nabi. Nabi yang mulia mendekatinya. "Jika kamu datang dalam salah satu majlis, apakah kamu merasa bahwa kamulah yang paling saleh, paling benar di majlis itu?" "Benar!" katanya. Sang Nabi pun memberikan komentar, "Orang itu akan menimbulkan perpecahan di kalangan umatku!" (HR.Ahmad).
Orang itu beribadah khusyuk tidak menyembah Tuhan, tetapi menyembah dirinya. Lidahnya mengucapkan Allahu Akbar, tetapi benaknya menganggap dirinya yang paling besar. Mereka menyembah Tuhan dengan empati nol.
Orang yang berpuasa, shalat, dan bahkan berhaji dengan menyakiti orang adalah orang yang beragama dengan empati nol.
Ramadhan adalah madrasah empati. Lebaran adalah hari silaturrahim. Dengan keduanya, kita menaikkan tahap empati kita dari nol ke tingkat optimal. Semoga! (IRIB/kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH