Jumat, 23 September 2011

Kurikulum Berbasis Alam



Oleh R Arifin Nugroho
Beberapa waktu lalu, beberapa anak usia sekolah dasar mendiskusikan tanaman bawang merah yang ditanam di sekitar sekolah.
Diskusi ke sana kemari ini menceritakan tentang bawang merah yang ditanam orangtua mereka yang rusak karena serangan hama ulat. Seorang anak berusaha menganalisis kejadian ”aneh” karena ribuan ulat penyerang tidak lagi dapat dibasmi dengan segala macam pestisida.
Dalam diskusi, anak-anak SD itu pun menceritakan bagaimana upaya orangtua mereka yang juga sudah mencoba segala macam cara: racun potas yang biasa untuk menangkap ikan, racun semprot nyamuk yang sering diiklankan di televisi, dan kapur barus pengusir serangga di pakaian. Hasilnya nihil.
Akhirnya, orangtua mereka yang kehabisan akal terpaksa harus menyewa enam orang per hari untuk membasmi hama secara manual: memencet ulat sampai mati. Maka, pada situasi saat ini, yang paling manjur adalah obat ”cap jempol” karena ulat dipencet dengan jempol dan jari telunjuk.
Seandainya diskusi anak-anak itu masuk dalam forum ilmiah sekolah dasar dalam kajian ilmu pengetahuan alam, itu tentu akan sangat menarik. Mereka akan memunculkan ide-ide lucu, segar, dan terutama mampu memupuk kelihaian analisis. Kita pun tidak perlu lagi gembar-gembor menuntut pemerintah memasukkan mata pelajaran lingkungan hidup ke kurikulum nasional.
Kenyataan saat ini, pemerintah masih abai dengan penyelamatan lingkungan. Sementara para peserta didik sudah kepayahan dan kehabisan waktu untuk menemukan jati diri pribadinya. Oleh karena itu, jangan sampai ada tambahan muatan belajar lagi.
Sekolah tidak lagi berarti ”waktu luang” (Yunani: schole), tetapi justru menjadi penjara dengan seabrek muatan kurikulum. Sebenarnya, ”waktu luang” lebih jauh dimaknai sebagai waktu leluasa untuk melihat diri dan mengembangkan secara penuh nurani yang membebaskan dengan penuh kegembiraan. Namun, kurikulum pendidikan yang masih spasial seperti saat ini justru menghapus itu semua.
Sekolah alam
Kita bisa belajar dari teman kecil yang berdiskusi tentang hama ulat tadi. Mengapa para pendidik tidak memanfaatkan lingkungan sekitar untuk membentuk karakter cinta lingkungan? Mengapa para pendidik masih sekadar mentransfer ilmu dan hafalan slogan cinta lingkungan tanpa membebaskan siswa berekspresi di lumpur sawah? Mengapa kita tidak seperti kisah inspiratif Panji Koming (Kompas, 11/9/2011), ”Sekolah pada Alam Saja”?
Alam menyediakan kurikulum yang luas dan luar biasa. Untuk pembentukan intelektual, kepedulian, dan rekonstruksi kebenaran hati nurani, semua tersedia. Para pendidik bisa lebih jeli dan inovatif memfasilitasi peserta didik. Diagram pendidikan yang mengagungkan kesuksesan adalah kekayaan finansial harus diubah menjadi kesuksesan sebagai kemampuan menghargai lingkungan. Dengan menghargai lingkungan, seorang pribadi bisa menghargai semua makhluk.
Sejak taman kanak-kanak, pembelajaran tentang lingkungan harus ditanamkan. Pelajaran menyanyi dapat mengambil tema kebun, hutan, gunung, ataupun lautan. Pelajaran Seni Rupa dapat mengenalkan gambar lingkunganku, baik lingkungan sekolah maupun rumah. Pelajaran Matematika bisa diarahkan ke lingkungan, misalnya pelajaran berhitung dilakukan dengan menghitung jumlah pohon atau serangga di kebun sekolah.
Pelajaran Agama dapat diinternalisasikan dengan penyelamatan lingkungan melalui sisi Tuhan yang mencipta dan memelihara alam. Maka, manusia sebagai gambaran Tuhan juga harus memelihara lingkungan. Pelajaran Fisika dapat dilakukan dengan mengamati debit air di sungai sekitar sekolah atau mengamati perbedaan intensitas cahaya di kebun yang tertutup tajuk pohon dengan di lapangan terbuka. Bisnis pakaian dan elektronik bisa diganti tanaman dalam pelajaran ekonomi.
”Ini Budi” atau ”This is a pen” dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris bisa diganti dengan ”Ini kebun” atau ”This is a river”.
Olahraga bisa diberi muatan tentang tanaman yang menyehatkan. Arah pembelajaran adalah kesehatan diri juga diperoleh dari lingkungan yang sehat. Lari pemanasan jangan lagi mengelilingi lapangan, tetapi ke jalan-jalan kampung agar terjadi interaksi dengan lingkungan alam dan sosial.
Pelajaran IPS bisa dimulai dengan mengamati kehidupan sosial semut di kebun sebagai gambaran cita-cita kehidupan masyarakat. Pelajaran Sejarah pun bisa disimulasikan di kebun sekolah dengan mengandaikan seorang siswa menjadi raja dan menugasinya membangun kerajaan dengan topografi lingkungan alam yang sehat serta nyaman.
Pelajaran Biologi tentu sangat relevan dengan lingkungan. Peserta didik bisa dibiasakan memilah sampah, merawat tanaman, berkebun, dan mengamati ekosistem kebun. Kebun di sekitar sekolah telah menyediakan materi kurikulum yang lengkap. Tinggal memanfaatkannya.
R Arifin Nugroho Guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/09/16/04210520/kurikulum.berbasis.alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERIMA KASIH